Dulu saya berideologi ultranasionalis. Dan saya menganggap Indonesia adalah negara terbaik dan sudah menjadi kewajiban bagi saya untuk mempertahankan Indonesia dari serangan internal eksternal. Saya membenci Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Saya pernah bertengkar dengan warganet dari luar negeri. Saya kadang-kadang sering berkomentar menolak IMF. Dulu saya juga sempat mendukung Islamisme ala Ikhwanul Muslimin dan Marxisme juga.Sekarang saya berideologi 3M (makan, makan, makan). Bagi saya tidak ada ideologi yang penting bagi perkembangan hidup saya dan keluarga saya. Tidak ada arah hidup yang penting bahkan yang berbau moralitas sekalipun. Ternyata bukan ideologi, melainkan uanglah yang menolong kita. Makanan seperti garam, micin, sambal, kecap, nasi putih itu yang menolong kita. Serta teh, air mineral, dan kopi. Bukan sosialisme, Islamisme, fasisme, marxisme, liberalisme, konservatisme, atau isme-isme yang lain. Kita tidak akan merdeka kalau isi perut kita tidak tercukupi. Coba tanya buruh-buruh pabrik di Narogong, Tambun, Setu di sana. Coba tanya pedagang di Pasar Kramat Jati, Pasar Pondok Gede. Memang mereka pikir ideologi itu penting daripada target penjualan, upah minimum, keselamatan kerja, harga barang di tengkulak, dll.
Saya pernah baca berita kalau orang Indonesia banyak yang melakukan jihad fi sabilillah, revolusi sosialis, atau perjuangan total melawan Belanda. Ternyata, saya pernah dengar, bahwa ternyata banyak orang Indonesia yang melarikan diri atau bersembunyi sewaktu pasukan Belanda datang ke kampung atau kota. Katanya, pasukan Belanda serem dan bikin takut. Setelah pasukan NICA menjamin keamanan kampung dan kecamatan, baru semuanya berjalan dengan kondusif.
Mana mengerti juga orang-orang Indonesia saat itu (tahun 40an) tentang materialisme, imperialisme, nekolim, revolusi total, dialektika, ketertindasan, manifesto, idealisme, gerpolek, fatwa, fi sabilillah. Membaca saja sudah buat orang sakit apalagi disuruh mengetahui hal begitu. Orang-orang saat itu juga tahunya “semoga Belanda gak bunuh kita”, “semoga Republiken gak bunuh kita”, “semoga besok masih ada perak buat makan”, “gak ada air putih, air tajin juga boleh”, “semoga besok pasar masih buka”. Bohong kalau kita berjuang mati-matian.
Jadi, ideologi itu aslinya tidak penting. Dan, ideologi mungkin ideal tetapi pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan khilaf. Jika Islamisme dilaksanakan di Indonesia, apakah dapat menjamin rakyat muslim Indonesia dapat salat dengan tenang dan khusyuk. Jika nasionalisme sudah dilaksanakan di Indonesia, nyatanya rakyat Indonesia masih banyak yang korupsi. Kalau komunisme dilaksanakan di Indonesia, belum tentu menjamin adanya kesetaraan dan dihapuskannya kultus kepercayaan. Kalau liberalisme dilaksanakan di Indonesia, belum tentu menjamin adanya kebebasan karena yang kuat itulah yang bebas. Begitu juga dengan konservatisme yang tidak menjamin dibatasinya perubahan yang menyimpang masuk ke dalam negara.
Yang penting adalah perut kita, orang terdekat kita, otak kita dan hati kita. Kalau misalkan ada negara kuat seperti Wakanda ingin menjajah Indonesia selama penjajahan tersebut menjamin adanya kepastian, tatanan, keadilan, kemajuan IPTEK, kesejahteraan, kesetimbangan, dan kebebasan. Pasti rakyat Indonesia mendukung ditaklukannya Indonesia oleh Wakanda.
Berideologi itu berat. Kalau gagal, ya hanya menangis saja. Kalau banyak makan, terkena penyakit, ya meninggalnya setidaknya dalam keadaan puas.