Secara umum, ilmu ekonomi dibagi menjadi dua : ilmu ekonomi makro dan ekonomi mikro.
Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara keseluruhan (agregat). Namanya juga makro, jadi lingkupnya lebih besar. Biasanya menganalisa perekonomian secara nasional. Lalu ilmu ekonomi mikro, skup-nya lebih kecil. Biasanya di level perusahaan atau rumah tangga. Ekonomi mikro juga lebih simpel, gak seperti ekonomi makro yang memperhitungkan banyak variabel. Saking banyaknya variabel-variabel tersebut, maka di ilmu ekonomi ada istilah cateris paribus.
Apa itu cateris paribus? cari sendiri ya. Hehe
Karena tak paham ekonomi makro, banyak masyarakat kita yang sering salah kaprah. Misalnya mengenai kebijakan pemerintah dalam hutang atau pemberian bantuan langsung tunai (BLT).
Kita ambil contoh BLT. Tahukah Anda, dengan adanya BLT banyak masyarakat yang hidupnya sudah sekarat bisa sedikit terbantu. Masyarakat yang sehari-harinya cuma makan nasi sama garam, dengan adanya BLT bisa membeli telur, bisa beli sayur, susu, dst. Akibatnya, gizi dan protein mereka sedikit tercukupi. Bayangkan kalau pemerintah tak memberikan BLT. 10 tahun ke depan akan banyak orang Indonesia yang stunting, yang kekurangan gizi, dan ujung-ujungnya akan menjadi beban pemerintah juga. Kalau banyak orang yang kurang gizi dan sering sakit-sakitan, rumah sakit-pun akan penuh, dan biaya BPJS yang dikelurkan pemerintah akan meningkat.
Nah, karena pemerintah berpikir secara makro, secara agregat, jadi pemberian BLT kepada masyarakat dalam jangka panjang akan menguntungkan pemerintah.Tapi kan banyak penerima BLT yang uangnya dipakai untuk beli handphone, beli rokok, yang menurut kaca mata kita gak tepat sasaran? Nah inilah pentingnya bagian penyuluhan, yang mensosialisasikan manfaat BLT agar tepat guna. Lagian beli HP/rokok, kalau itu meningkatkan produktifitas mereka, toh gak salah juga.
Hah, rokok meningkatkan produktifitas?
Gak percaya? Coba deh tanya sama orang yang ngerokok. Maaf, saya bukan perokok.
Lalu kasus lainnya mengenai hutang pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Banyak masyarakat yang gak paham ilmu ekonomi, akan melihat proyek tersebut hanya menghambur-hamburkan uang. Pembangunan jalan tol misalnya, gak sedikit orang yang bilang gak perlu jalan tol. Malah ada yang teriak gak makan aspal. Coba deh tanya ke supir-supir truk yang ulang alik Jakarta-Surabaya setiap hari. Enakan lewat Pantura yang gratis atau jalan tol yang berbayar? Pasti mereka milih jalan tol : mulus, gak ada pak ogah, dan yang terpenting barang-barang mereka lebih cepat sampai tujuan. Terlebih barang-barang pangan yang cepat busuk, dengan adanya jalan tol kini tak lagi jadi masalah.Kalau kita tengok, memang pemerintah agak sedikit boncos, karena harus hutang ratusan triliun. Tapi kalau dilihat secara makro, ini akan menguntungkan masyarakat. Kini dengan adanya jalan tol, pariwisata di Wonosobo, Gunung Kidul, dan Magetan jadi lebih hidup. Kalau dulu orang Jakarta cuma liburan ke Bandung, setelah ada jalan tol, kota Batu juga kebanjiran pelancong. Simpelnya, kini uang orang Jakarta juga bisa dicicipi oleh saudara-saudara yang jauh di pelosok Pulau Jawa. Tidak berkutat di Jabodetabek dan Bandung Raya saja. Bayangkan kalau ini terbangun secara nasional.
Dengan adanya jalan tol, maka roda perekonomian-pun lebih menggeliat. Pendapatan masyarakat-pun akan meningkat, dan ujung-ujungnya pemasukan dari pajak-pun juga bertambah. Lagi-lagi pemerintah akan diuntungkan.
Nah, kalau saja masyarakat sedikit memahami ilmu ekonomi, maka mereka akan bergembira ketika ada infrastruktur baru dibangun. Karena ini kesempatan buat mereka untuk menambah penghasilan, atau setidak-tidaknya barang yang mereka konsumsi akan lebih murah.