Jacob Ereste :
———————————–
Catatan Spesial Untuk Aktivis Senior M. Nur Lapong dan Syahganda Nainggolan.
‐———————————
Memilik yang terbaik dari yang terburuk, ini memang dera derita warga bangsa Indonesia, bukan sunnattulah. Karena sebelumny a kebijakan publik yang dikanalisasi melalui partai politik dengan membuat aturan dan perundang-undangan atas dasar pesan yang dimanfaatkan juga untuk ditumpangi oleh kepentingan lain, yaitu kekuasaan partai yang tidak berpagar. Itulah sebabnya logika partai berhak memposisikan sosok Presiden sebagai petugas — jika tak bisa disebut kacung — partai politik. Bukan petugas rakyat yang punya daulat.
Agaknya, begitulah kedaulatan rakyat yang dirampas oleh partai politik, sehingga rakyat banyak tidak lagi percaya dengan partai politik, karena cuma ingin mendudukkan petugasnya sebagai penguasa. Bukan pengemban amanah rakyat.
Kegalauan aktivis seperti Dr. Syahganda Nainggolan yang ditimpali oleh aktivis M. Nur Lapong — dimana kedua tokoh aktivis berat ini pernah lengket dengan penguasa ketika ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) berkibar-kibar benderanya, merasakan sekali ketertekanan batin saat rezim dari bilik sebelah bisa merebut kekuasaan di negeri ini. Padahal, ketertekanan rakyat yang tak pernah mengendus nikmatnya singgasana kekuasaan, sepantasnya yang merasakan kegamangan itu, sehingga ide dan gagasan — apalagi untuk usulan — tak pernah secuil pun digubris, seperti soal Omnibus Law yang dipaksakan untuk menekan kaum buruh.
Dalam kekalahan telak kaum buruh inilah, saya dapat memahami sikap undur diri kedua aktivis yang dulu punya ghiroh perburuhan di negeri yang cukup sukses untuk mengeliminasi pribumi di negerinya sendiri. Jadi ikhwal mimpi Nur Lapong untuk mengusung Calon Presiden asli dari warga suku bangsa Indonesia sendiri, cuma menegaskan rasa frustasi itu sehingga tidak bisa berbuat yang terbaik dari sejumlah pilihan yang semuanya buruk.
Apalagi mengacu pada sosok mantan Presiden BJ. Habibie. Ketika itu pun tajuk bincang ikhwal asal muasal sosok BJ. Habibie dianggap sebagai insiden yang memberi keberuntungan bagi sejarah bangsa Indonesia pernah ada sosok Presiden dari Sulawesi. Atas dasar itu pula, saya menduka Syahganda tak perlu sibuk mengajukan calon Presiden dari kampungnya di Sumatra Utara.
Itulah yang semakin meyakinkan saya bahwa kita harus sedikit menambah tibgkat ketinggian antene tawakal agar bisa lebih tawadduk memilih yang terbaik dari semua yang terburuk. Siapa tahu dengan sikap berbesar hati, sehingga kita dapat memiliki jiwa setegah dewa, seperti petuah Wali Spuritual Indonesia, Sri Eko Sryanto Galgendu yang tengah gigih membangun jalan pergerakan untuk kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang telah menemukan basis pijakannya, etik profetik yang diterima para Nabi dari langit untuk membumi dari Nusantara. Dan memang Indonesia tidak cukup lengkap merefresentasikan Indonesia, meski sudah diklaim merdeka.
Nagrak, 18 Mei 2023